Salah satu topeng Farisi yang paling susah di lepas dari saya adalah: Merasa Diri Paling Benar & Paling Rohani. Dan saya sadar bahwa saya tidak akan dapat di pakai dengan lebih maksimal oleh Tuhan bila saya tidak menyingkirkan topeng farisi ini dan melihat kejahatan yang mengerikan dalam diri saya sendiri.
Dalam Kisah 22:3, kondisi lahiriahnya meyakinkan Paulus bahwa Dia adalah orang yang bekerja atas nama kebenaran: "Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah…”. Intinya, Paulus telah mencapai kedudukan yang paling baik dalam karir masa
mudanya. Namun apa fakta mengerikan sesungguhnya di balik kesuksesan tersebut?. Sebagai seorang Farisi yang bertugas menulis dan menafsirkan hukum bagi orang lain, dia dapat menambahkan atau
mengurangkannya sehingga tidak mungkin baginya, sebagai orang farisi, untuk melanggar hukum secara tidak sengaja atau karena lalai dan dengan cara ini dalam hal apa saja dia dapat mengklaim segala tindakannya benar dalam etika moral. Jadi kebenaran itu bagi Paulus adalah system, bukan kemurnian batin. Baginya kebenaran itu bukan masalah dalam tapi hanya masalah luar yang merupakan hasil dari memanipulasi hukum yang menghadiahkannya kebenaran secara teknis walaupun dengan hati dingin. Bagaimana Paulus akhirnya mampu melepaskan topeng farisinya tersebut dan menjadi seorang Rasul Kasih Karunia Allah? Sangat sukar, namun saya dapati bahwa Paulus memerlukan suatu pertemuan yang ajaib dengan Tuhan dan mata yang di butakan untuk melucuti kebenaran topeng farisinya yang telah berakar bagaikan kulit badak tersebut. Ini sangat mengejutkan bahkan sangat menyakitkannya. Dalam sekejap semua posisi kekuasaan yang dia percayai di milikinya sebagai wakil Tuhan yang dia sering gunakan untuk mengendalikan dan memerintah orang banyak tiba-tiba berakhir dalam sekejap. “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” (Kis 22:7), kata-kata ini menjegal perasaan paling benar dan kesombongannya sebagai orang farisi. Inilah Saulus yang sedang membela kebenaran dan memburu mereka yang mengaku pengikut jalan Tuhan, dan tiba-tiba Tuhan menunjukkan diri-Nya dan menyetarakan diri dengan orang-orang yang justru akan dia bungkam. Ini sungguh menyakitkan, namun inilah faktanya.
Sayapun menyadari sifat ini ada pada saya. Seringkali bilamana orang yang saya harapkan untuk mendukung ide-ide saya justru membantu orang lain menghancurkan saya, ini sangat menyakitkan. Saya justru akan menganggapnya sebagai pengkhianat dan tidak pernah akan saya maafkan. Tidak ada yang dapat di lakukan Saulus selain “Tersungkur ke tanah…”. Ini reaksi alamiah orang yang berhati hancur dan putus asa. Secara pribadi, saya menyimpulkan kondisi Saulus ini sebagai sikap kerendahan hati yang seharusnya bagi saya atau siapa saja tatkala menghadapi kebenaran yang dari Allah. Bila seseorang bertemu dengan Allah, maka kerendahan hatinya akan membuatnya tersungkur untuk menyesali dosa-dosanya agar dapat di ubahkan.
Tuhan ingin Saulus berhenti melayaninya dengan mengatas namakan kebenaran dan tradisi, duduk diam dan menunggu perintah dari Roh Kudus. Untuk keluar dari kondisi yang menyakitkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan rencana Tuhan, dalam kasus Saulus, di butuhkan waktu 14 tahun (Galatia 1:17; 2:1). Jadi Saulus bukan hanya bertemu secara ajaib dengan Tuhan, tapi juga menjalani proses belajar yang panjang.
Kebiasaan lama sukar di ubah, itu sebabnya pemimpin harus menjadi murid, pemandu jalan harus merelakan diri untuk di tuntun (22:11), selaput mata harus gugur (22:13), barulah kulit badaknya dapat di kupas keluar.
Saya bergidik membayangkan perasaan Saulus saat itu. Mengapa? Orang Farisi biasanya suka curiga pada orang lain. Mereka merasa lebih tinggi dari orang lain dan lebih suka bergantung pada diri sendiri. Namun sekarang Saulus telah buta total dan terpaksa harus mempercayai orang lain untuk menuntunnya dan ini adalah pengalaman yang mengerikan yang berlawanan dengan sifat farisinya.
Saya percaya inilah cara kerja Tuhan untuk menanggalkan topeng farisi manusia. Ia merendahkan kita sehingga kalau bukan karena campur tangan-Nya, tidak ada yang dapat menebus kita dari kebutaan rohani yang berlapis topeng ini. Walaupun menghadapi semua pengalaman yang menyakitkan ini, namun Saulus belajar untuk pasrah dan siap mendengar. Keangkuhan dan kesombongannya telah gugur bersama gugurnya selaput kebutaannya sehingga dia merasa tidak punya apa-apa lagi yang perlu di banggakan. Saat itu juga dia bertobat dan memberi diri di baptis (9:18-19).
Oh Tuhan tolonglah agar sayapun sanggup menyingkirkan topeng farisi saya dan menyingkirkan kejahatan paling mengerikan dalam diri saya yang seperti Paulus ini, Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.