Pelayanan saya sebagai pendeta selama sepuluhtahun, baik sebagai pendeta jemaat maupun misionari, memberikan banyak wawasanyang menjadi pergumulan hidup. Akhirnyasaya sering bertanya dalam hati: “Bagaimana rekan-rekan pendeta lainnyamelewati semua pergumulan kependetaan seperti yang saya alami ini?”.
Satu kata yang menyimpulkan semuapergumulan saya itu adalah:“TERJEBAK”. Terjebak dalam berbagaikesibukan dalam jemaat yang sebenarnya hanyalah merupakan sarana penunjangdalam pekerjaan
Tuhan tersebut. Baikprogram-program dan rapat-rapat rutin jemaat, pembangunan dan renovasi yangmenghabiskan waktu, mengatasi berbagai masalah yang tak kunjung selesai,acara-acara keluarga/kelompok, Undangan-undangan dan lain sebagainya. Dan jika tidak ada solusi untuk mengatasihal-hal kritis tersebut, maka akan menimbulkan banyak kegagalan dalam pelayanankependetaan, seperti:
a. Kejenuhan,kehilangan focus dalam pelayanan dan mengubah cara pandang para hamba Tuhan inisehingga gantinya mereka berserah, mereka justru mulai pengalihkan pikiran padahal-hal materi, dan lain-lain. Bahkanbisa saja saran-saran untuk tetap setia dan bertahan tanpa solusi yang tepathanya akan mengakibatkan timbulnya sikap apatis yang merusak dalam pelayanan.
b. BerkembangnyaPemanjaan Diri Para Pendeta: Pendeta hanya sedikit terlibat dalam operasionalpelayanan. Sisa waktunya lebih banyakpada urusan pribadi dan keluarga. Bahkanuntuk ini di tunjang dengan fasilitas yang berlebihan.
Kenyataannya ialah dampak inibukan hanya merusak pelayanan kependetaan para hamba Tuhan saja, tapi jugamerusak jemaat. Mengapa? Karena jemaatkehilangan fokus utama mereka sebagai satu jemaat yang bersaksi secaramenyeluruh. Jemaat boleh jadi sangataktif, bahkan sama aktifnya dengan sang pendeta, namun keaktifan tersebutberjalan tanpa fokus yang jelas, hanya sebagai kedok agar kelihatan banyakkegiatan dan hanya melibatkan kelompok minoritas saja, yaitu hanya mereka yangdi anggap mampu untuk menjalankan program-program dan kegiatan-kegiatan yangsudah di putuskan, sementara yang kurang mampu hanya menjadi pengamatsaja. Yang terakhir ini bahkanmenyebabkan kurang semangatnya para anggota untuk terlibat sehingga merekalebih memilih untuk diam dan tinggal di rumah daripada ikut serta.
Saya sangat takut memikirkan bahwa kekurangefektifan dalam pelayanan saya tersebutlah yang menyebabkan tidak adanyareformasi dalam gereja yang saya layani dan kurangnya kehadiran anggota jemaatke gereja dari yang seharusnya. Ataukurangnya semangat dan gairah anggota jemaat untuk bersaksi secarapribadi. Padahal Bersaksi secara pribadiini adalah tugas yang paling utama yang harus di contohkan dan kerjakan olehpara hamba Tuhan bagi jemaatnya. (Matius 28:18-20; Kisah 3:14-15; 4:10, 33;5:30-31; 41-42).
Di lihat dari kondisi sepertiini, ada beberapa hal yang harus di lakukan untuk meningkatkan dan membangunkualitas profesionalisme dari pelayanan kependetaan.
1. MerubahFokus Pelayanan Kependetaan. Pendeta haruslah berpikir untuk melayani orang, bukan melayani program ataupunkegiatan[1]. Matius 28:20 memerintahkan dengan jelas:“…Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Ku perintahkankepadamu…”. Firman ini haruslahmengarahkan kita untuk mengerti bahwa oranglah yang menjadi sasaran pelayanankita. Yang paling penting dari semua iniadalah para pendeta haruslah mengenal dengan baik akan setiap dombagembalaannya dan memberi makan sesuai kebutuhan mereka. Ini menyangkut kepekaan pendeta untuk (melupakandirinya) menggunakan lebih sedikit untuk hal-hal pribadinya dan cepat tanggapuntuk mencurahkan waktu, dana, tenaga dan pikirannya terlibat dan peduli dalampertumbuhan ataupun persoalan hidup sehari-hari yang membebani anggotanya:mempelajari keperluan mereka, kesusahan mereka, pencobaan mereka kemudianmenghibur mereka dan memulihkan jiwa mereka[2].
2. BertindakSebagai Rohaniawan Yang Profesional. Pendeta harus menyadari dan memahami tugas mereka sebagai rohaniawanyang profesional. Saat saya memulaikanpelayanan saya menggembalakan satu jemaat yang beranggotakan hampir tigaratusorang, hal yang paling pertama saya buat adalah membuka gereja setiap hari danmenjadikannya sebagai “Rumah Doa”. Diluar jam-jam perlawatan saya, para anggota saya mintakan datang di sela-selawaktu kerja mereka untuk berdoa dengan saya walau hanya satu jam saja. Jemaat memulainya dengan kondisi yang sulitdan pesimis, namun saya terus memacu mereka dan mengajar mereka untuk terusmendoakan orang lain. Apa yang saya cobalakukan saat itu adalah membantu jemaat memahami bahwa saya melayani merekasecara profesional dan saya memiliki jam kantor yang selalu ada sepanjang harisaat mereka membutuhkan. Bukan hanyawaktu saya melawat, tapi juga diluar itu. Alhasil adalah hal yang tak terduga sama sekali, dalam jangka waktusebelas bulan, jemaat yang terletak di tengah-tengah kampung yang notabenenyamemiliki reputasi buruk dan tercela selama beberapa tahun terakhir itu, mampumemacu pertobatan kurang lebih 40-an jiwa bagi Tuhan. Tepat seperti yang hambaTuhan tuliskan bahwa: “…Pendeta harus segera pada waktunya dan di luarwaktunya, siap untuk merebut dan meningkatkan setiap kesempatan untuk memajukanpekerjaan Allah…”[3](Pengkhotbah 11:6).
3. Menyadaritugas Pendeta sebagai Pemurid Iman. Pendeta haruslah antusias dan aktif sebagai pemurid. Pendeta harus menyadari bahwa satu-satunyatujuannya untuk memuridkan adalah untuk “memuliakan Allah” (Yohanes 15:, danini harus di penuhi melalui dua cara, yaitu: “Evangelisasi keluar” (2 Timotius2:2) dan “Kedewasaan Rohani” (2 Timotius 3:10). Pekerjaan ini bukan hanya membutuhkan “pengajar teori” dari para pendeta sebagai pelatih dan pendidik(Orang yang telah dewasa Rohaninya), tapi lebih dari pada itu sangatmembutuhkan para pendeta sebagai “Pelakuaktif” (orang yang member contoh pekerjaan evangelisasi itu sendiri). Kepada saudara-saudaraku yang sedang melayani saya ingin mengatakan, denganpekerjaan perseorangan hampirilah orang-orang dimana mereka berada. Adakan perkenalan dengan mereka. Pekerjaan ini tidak dapat di lakukan denganperwakilan…Khotbah-khotbah dari atas mimbar tidak dapat melakukannya…”[4]
4. SanggupBergerak Sebagai Motor Pembaharuan. Pendeta harus memiliki visi sebagai pembaharu dan tidak boleh bekerjasendirian. Harus dengan bijaksana untukmelibatkan semua orang untuk melihat visi perubahan dan mengerjakan perubahandengan gembira. Harus mampu mengarahkantiap potensi pada jalur pelayanan dengan tepat. Pendeta mampu melihat kesalahan dan kegagalan kemudian menjadi pengayomserta pelindung bagi mereka yang gagal agar mereka tidak rendah diri dan mautetap berkembang.[5] Bahkan pendeta harus mampu memacu anggotauntuk menciptakan “Keterikatan”serta “Penyembuhan” dalamsetiap kegiatan atau program mereka. Dua kata yang saya garis bawahi ini adalah kunci pembaharuan yang palingutama, karena tanpa adanya kedua hal ini maka kegiatan apapun yang di adakanoleh pendeta dan jemaat, entah itu kelompok kecil, kumpulan-kumpulan, tidaklahberbeda dengan kegiatan makan-makan yang menghabiskan energi tapi menghasilkansedikit. Dengan logika yang sederhana,Tidak ada orang yang mau terlibat atau menghabiskan waktu dengan sesuatukegiatan yang tidak mengikat hati dan emosi mereka. Tak heran maka mereka akan lebih senang mempertahankan yang lama karena tidak mengganggujalur hidup mereka daripada membuat paradigma baru yang lebih membangun dalamkerohanian mereka. Ataupun tidak adaorang yang mau terlibat sampai dalam kegiatan yang tidak memberikan kesembuhanatas masalah-masalah hidup yang mereka miliki. Bila para hamba Tuhan mampu memegang dan mengembangkan dua kunci utamaini, mereka akan lebih mudah berkarya dalam pelayanan mereka.
5. SanggupMenjalankan System Pemuridan Yang Berhasil. Saya mau katakan bahwa iniadalah keahlian standar yang seharusnya mampu di jalankan oleh para pendetakarena metode yang paling sederhana inilah yang Yesus tempuh untuk mendidikpara murid. Dengan teologi yang sederhana,saat Yesus memanggil para murid hanyasatu perkataan yang Dia katakana, yaitu: “Mari, ikutlah Aku!”. Siapa yang mengajar orang banyak? Siapa yangmelawat di jalan-jalan? Siapa yang menyembuhkan orang sakit dan kerasukan?Siapa yang membangkitkan orang mati? Bukankah hanya Yesus sendiri, tak satupunmurid-murid yang berhasil. Hasilnya, setelah tiga setengah tahun berlalu,walaupun murid-murid tak memiliki pengetahuan yang sama dengan ahli-ahlitaurat, tapi ada sesuatu yang berkembang sangat kuat dalam hidup mereka. Itulah Iman yang sejati. Kisah 3:6, Adalah bukti nyata dari iman yangsejati itu. Saat seseorang memintasedekan, Petrus hanya katakana : “…apa yang ku punyai ku berikan padamu:…berjalanlan”. Bagaimana bisa? Petrusdan para murid sudah biasa melihat Yesus melakukan hal ini dalam kehidupansehari-hari, itulah sebabnya walaupun kelihatannya mustahil, namun Iman yangsejatilah yang telah menyanggupkan Petrus menjadi murid yang sejati.
Saat seorang pendeta mulai menggembalakansidangnya, dia sudah harus memilih satu atau dua orang yang cakap dan dapat dilatih. Dalam setiap kesempatan, pendetaharuslah memberitahukan ide-ide, cara-cara, bahkan strategi dan tehnik yangakan di tempuhnya untuk menjalankan program-program, kelompok kecil, kelompokpendalaman, bersaksi, dll, kepada orang yang telah di pilihnya. Biarkan mereka mengetaui setiap permasalahanyang pendeta hadapi dan bagaimana cara menyelesaikannya. Tujuan utama dari semua ini ialah agarorang-orang yang sudah di pilih ini mampu mengembangkan pola berpikir danberkerja sesuai atau paling tidak mendekati pola berpikir dan bekerja dari sangpendeta itu sendiri. Sehingga absennyapendeta akan tetap memampukan para murid ini menjalankan semua program kerjaitu sesuai dengan instruksi yang di berikan oleh sang pendeta.
Sebagai penutupuntuk artikel singkat ini, saya ingin meminjam ilustrasi dari Paulus Lie untukmembuka wawasan kita akan pentingnya pelayanan yang optimal dari seorangpendeta: Pendeta A, sangat energik, cerdas dan trampil di segala bidang. Begitu masuk di jemaat, segera terjebak dalamkesibukan yang luar biasa. Melayanimengikuti pola biasanya, di atur oleh permintaan orang lain / tua-tua jemaat. Di tambah segala kesibukan pribadi, keluarga,sebagai suami dan orang tua. Bahkan ia harus terlibat dalam berbagai kegiatanorganisasi/lembaga/badan gereja dalam distriknya.
Pendeta B,kemampuan pas-pasan, bahkan kurang, namun dia mampu membuat struktur pelayananyang dapat membantunya: Ia membuat tim khotbah yang siap setiap saat untukmembantunya. Ia menunjuk orang-orangyang ahli untuk memoles khotbahnya dalam bentuk tayangan multimedia yangmenarik. Ia membentuk tim perlawatan khusus yang selalu melawat atas namanya.Ia membentuk kelompok-kelompok kecil yang aktif, bakhan dia mampu mengembangkansystem pemuridan yang berhasil sehingga dia memiliki pengikut-pengikut ahliyang dapat berpikir sama seperti dia, dll. Nah dari dua contoh ini, pendetayang manakah yang lebih berhasil?[6]
Semoga rekanrekan pendeta dapan melepaskan diri dari jebakan “One Man Show” yang merusakpelayanan ini.
[1]Lie, Paulus. Mereformasi Gereja. Yokyakarta: Penerbit ANDI, 2010, hal. 11.
[2]White, E. G, Pelayan Injil. Bandung: IPH, 1995, hal. 160, 162.
[3]Ibid, hal 165.
[4]White, E. G. Pastoral Ministry. USA, 1995, hal 131
[5]White, E. G, Pelayan Injil. Bandung: IPH, 1995, hal 175.
[6]Lie, Paulus. Mereformasi Gereja. Yokyakartaenerbit ANDI, 2010, hal. 19, 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.